Orang Miskin Boleh Sekolah

Undang-undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara, memiliki hak yang sama dalam memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak. Berdasarkan pemahaman di atas, masyarakat yang secara ekonomi termasuk golongan tidak mampu pun, pada prinsipnya tetap memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan formal sekolah.

Maka, kendatipun arus komersialisasi pendidikan demikian deras yang berujung pada melambungnya biaya pendidikan, berdasar prinsip tersebut, masyarakat kurang mampu tetap harus dilayani.

Barangkali berangkat dari pemahaman itulah, Pemerintah Kota (Pemkot) Solo berupaya untuk membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat menengah ke bawah. Salah satu kebijakan yang ditelorkan oleh Pemkot Solo adalah mengeluarkan Surat Edaran (SE), yang melarang sekolah-sekolah menarik uang gedung kepada murid baru.



Jika dibandingkan dengan wilayah lain di luar Surakarta, hadirnya SE Walikota tersebut telah membawa angin segar bagi masyarakat kecil. Larangan bagi sekolah-sekolah untuk menarik uang gedung itu hanyalah salah satu dari beberapa kebijakan Pemkot Solo untuk meringankan beban rakyat kecil, utamanya di bidang pendidikan.

Suatu hal yang wajar, sebuah kebijakan baru selalu memunculkan reaksi pro dan kontra di sana-sini. Tak terkecuali dengan kebijakan larangan penarikan uang gedung tersebut. Boleh dibilang, pelaksanaan SE tersebut hingga kini masih belum berjalan mulus. Ada beberapa kendala dan sandungan menghadang di depan langkah. Misalnya, ada sebagian pihak masih menilai Surat Edaran Walikota tersebut bersifat diskriminatif antara siswa Solo dan siswa luar Solo.
Wakil Ketua Dewan Pendidikan Kota Solo (DPKS), Taufiqurrahman menilai, Surat Edaran Walikota Nomor 422.1/1749 tersebut masih bersifat ambigu. Pun, SE tersebut juga dinilai masih bersifat kaku untuk diterapkan di lapangan. Karena itu, ia mengusulkan agar Pemkot tidak terlalu menerapkan SE tersebuk secara saklek.

“Mestinya, penerapan SE itu di lapangan jangan bersifat kaku. Harus dibuat agar bersifat fleksibel, dan tidak kaku ketika diaplikasikan di lapangan,” ujarnya suatu ketika.

Walikota Solo sendiri, Joko Widodo pernah mengatakan bahwa SE tersebut memang tidak bersifat kaku. Hadirnya SE tersebut masih memberikan peluang bagi sekolah untuk menarik uang gedung kepada murid baru. Hanya saja, untuk menarik uang gedung tersebut melalui beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pihak sekolah.

“Salah satunya, sekolah harus mengajukan proposal secara rinci mengenai tingkat kebutuhan pengembangan sekolah. Proposal tersebut harus diajukan langsung ke Pemkot/Walikota Solo,” paparnya suatu ketika.
Setelah proposal diajukan, nantinya Walikota melalui sebuah tim akan melakukan verifikasi di lapangan. Verifikasi itu dilakukan untuk mengetahui secara jelas, apakah memang sekolah tersebut layak menarik uang gedung dari murid-murid baru.

Terlebih, sebenarnya sekolah-sekolah telah mendapatkan sokongan dana dari pusat (APBN), Provinsi (APBD provinsi) dan Kota (APBD Kota). “Itu pun masih ditambah dengan sumber-sumber lain yang asalnya dari masyarakat,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Solo, Amsori suatu ketika.

Transparansi
Di samping melarang penarikan uang gedung, sekolah juga diminta transparan dalam hal program dan kebutuhan pendanaan. Beberapa sekolah bahkan sudah melaksanakan hal itu, misalnya dengan menempelkan rincian kebutuhan pendanaan, sekaligus program yang akan dikembangkan oleh sekolah.
Rupanya memang masih terjadi simpang siur dalam persoalan ini. Namun terlihat jelas ada niat, minimal dari pemerintah kota untuk mengendalikan penarikan uang gedung di tengah gencarnya arus “komersialisasi” pendidikan dewasa ini. Tujuan akhirnya, tentu demi pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. (Kiki D Sunarwati)

diunduh dari:harianjoglosemar.com

0 komentar:

Copyright © 2009 - gvt mtlzmn - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template