Golput Menang 2009?

oleh Abd. Rahem

Peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDesS), Jakarta

Baru dua hari pesta akbar digelar. Semuanya berdebar, terutama para calon yang sudah berusaha keras merebut hati rakyat. Demokrasi gamblang terlihat. Ada 43 partai politik (empat partai lokal dari Aceh) bertarung di dalam bilik suara, sekaligus menemukan jawaban apakah semua yang dilakukan partai politik selama ini, berupa kampanye, iklan politik di media massa, baliho di pinggir-pinggir jalan raya, money politics, mampu memberi daya tarik dalam waktu dua menit di dalam bilik itu. Jawabannya hanya bisa diketahui setelah penghitungan suara selesai.

Berkaca pada pemilu sebelumnya, pemilu kali ini tergolong rumit. Tidak lagi mencoblos. Mencontreng menjadi ciri-cirinya. Bahkan, bisa jadi, daya pikat yang telah dikemas sedemikian rupa oleh partai-partai dan calon legislatornya itu kalah oleh kebingungan pencontreng yang masih awam atau tidak paham terhadap trik dan tata caranya. Kalau itu terjadi, akan sia-sia pemilu, yang notabene menyita keuangan negara sangat besar. Hal semacam itu menjadi kekhawatiran semua pihak, KPU mati-matian mensosialisasi; menggelar forum di masyarakat, lewat televisi, pengiriman pesan pendek, bahkan partai-partai ikut membantu KPU agar pemilih mencontreng secara benar, di samping mempromosikan dirinya juga. Meskipun secara jelas-jelas partai politik itu meminta agar mencontreng partainya sendiri.


Apakah hanya gara-gara ketidakpahaman itu surat suara tidak sah akan menjadi pemenang? Jika demikian, golongan putih (golput) kembali tegak. Hanya, golput muncul lebih karena keruwetan dan ketidakpraktisan cara memilih. Bahkan juga karena tidak tercantumnya banyak orang dalam daftar pemilih tetap. Bahkan angka golput pemilu kali ini tergolong tertinggi. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) Surabaya dalam hitung cepat mencantumkan angka 45 persen untuk golput Jawa Timur. Inilah angka tertinggi dibanding angka nasional, yang menurut Puskaptis mencapai 40 persen.

Tentu kita masih ingat pada pemilu tahun 1971, yang menyebabkan golput menjadi populer hingga saat ini. Ketika itu, ada 10 partai politik yang bertarung berebut kursi di DPR, DPRD, DPD, dan yang paling hoki adalah kursi presiden. Ke-10 partai tersebut, sebagaimana menurut Arief Budiman, merupakan partai yang "diperbolehkan hidup" oleh pemerintah Soeharto (setelah pemilu 1971, partai hanya tinggal tiga, yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Demokrasi Indonesia).

Dengan membatasi jumlah partai, pemerintah Soeharto telah melanggar asas demokrasi yang paling dasar, yaitu kemerdekaan berserikat dan berpolitik. Soeharto tidak hanya berhenti sampai di situ, partai-partai yang sudah ada itu masih juga diintervensi pemerintah. Calon pemimpin PNI misalnya. Partai itu diseleksi lebih dulu sebelum boleh memilih pemimpinnya. Hanya pemimpin yang "diizinkan" pemerintah yang boleh dipilih. Lebih parah lagi, para pemimpin Parmusi waktu itu praktis ditunjuk sendiri oleh Soeharto.

Karena itu, muncullah golput sebagai bentuk ketidaksetujuan atau penolakan terhadap cara pemerintah yang otoriter dan tidak demokratis terhadap pemilu. Waktu itu golput wajib hukumnya karena, kalau tidak, penjajahan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri akan semakin menjadi-jadi. Pantas golput menjadi keharusan, meskipun sebenarnya menyakitkan.

Menjelang reformasi 1998, demokrasi marak disuarakan oleh hampir semua orang yang tidak puas terhadap pemerintah Soeharto, yang semakin mencekal. Soeharto pun tumbang pada 21 Mei 1998, dan demokrasi dijunjung tinggi sebagai tulang rusuk negara dengan harapan dapat membentuk Indonesia sesungguhnya. Selanjutnya, pascareformasi, kita menikmati demokrasi secara utuh.

Presiden beserta parlemen-parlemennya adalah bukti demokrasi telah berdiri tegak dan menjadi ciri-ciri bahwa Indonesia "Negara Demokrasi". Meskipun dalam kurun lima tahun presiden berganti-ganti, yakni B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Namun, lagi-lagi, golput pada pemilu demokratis kedua (pemilu demokratis pertama pada 1999) menjadi memikat lagi.

Pasalnya, di tengah demokrasi yang tengah berkobar, dan orang bebas mendirikan partai sesuka hati, ternyata masyarakat dihadapkan pada calon legislator yang batas kemampuan maupun kesadaran sosialnya rendah. Dalam artian, para calon itu hanya memanfaatkan demokrasi sebagai ladang empuk mencari keuntungan pribadi, terutama untuk menambah tebal kantong. Secara tiba-tiba, orang yang dulu mendukung gerakan "Hartois" atau tangan-tangan Soeharto berubah drastis menjadi penganut demokrasi. Orang yang terlibat korupsi tiba-tiba meminta dengan rendah hati agar dipilih menjadi wakil rakyat. Apakah mereka tidak punya muka?

Walhasil, golput pun harus menjadi pilihan pahit yang menyesakkan dada. Memang, golput pada 2004 itu bukan lagi bentuk penolakan terhadap manipulasi pemilu sebagaimana pemilu pada 1971, tapi lebih kepada calon-calon yang relatif besar tidak memiliki kemampuan menjadi wakil rakyat. Calon-calon waktu itu bisanya hanya duduk di kursi, minta digaji, tanpa bisa berpikir lebih jauh atas tugas mereka. Kini pemilu demokratis kesekian kalinya telah sampai, rakyat berpesta. Kekhawatiran itu masih mendera, malah semakin membahana.

0 komentar:

Copyright © 2009 - gvt mtlzmn - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template